Cerita dari SITU GINTUNG ( Beauty & the Beast )
Pertama yang akan dicari bagi seorang ahli adalah definisi. Apaan sih SITU ?
Menurut Dept PU tentang Penataan Ruang :
Situ adalah wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk secara alamiah dan atau air permukaan sebagai siklus hidrologi, dan merupakan salah satu bagian yang juga berperan potensial dalam kawasan lindung;
Sedangkan dari sisi pengairan didefinisikan :
Waduk :
Adalah bangunan untuk menampung air pada waktu terjadi surplus air di sumber air agar dapat dipakai sewaktu-waktu terjadi kekurangan air, sehingga fungsi utama waduk adalah untuk mengatur sumber air. Yang termasuk jenis bangunan ini antara lain adalah:
- Waduk buatan/bendungan
- Waduk lapangan (pengempangan mata air)
- Embung (sejenis waduk kecil di NTB)
- Situ (sejenis waduk kecil di jawa barat)
Dengan mengetahui definisi-definisi diatas tentunya akan mempermudah para ahli ini untuk mengerti sebuah bangunan, konstruksi ataupun bentang alam bentukan dari proses alamiah.
Dari definisi diatas dapat kita ketahui bahwa yang disebut seitu pada awalnya sebuah tubuh air bentukan alam. Tentusaja dengan ciri-ciri bentukan alam yang berntuknya alami serta “bangunan”-nya terususun oleh material-material alam. Bendung yang dibuat biasanya minimalis, atau sedikit modifikasi. Namun modifikasi inilah yang seringkali diluar kontrol karena sering manusia menganggap bahwa segalanya yang bserasal dari alam ini “aman”.
Aman untuk sebuah konstruksi alamiah semestinya tidak melenakan, Harus dimengerti juga bahwa alam juga menyimpan potensi petaka ketika manusia tidak mengerti perilakunya. Tentusaja, selain potensi petaka, alam juga menyediakan keindahan dan kenikmatan yang dapat diambil oleh manusia.
Saat ini di Indonesia banyak situ-situ yang masih berfungsi sebagai penyeimbang alam, bahkan banyak situ-situ yang dipergunakan sebagai sarana irigasi. “Danau” mini ini menyimpan air cukup banyak yang mampu dipakai untuk mengairi pertanian (sawah).
The Beauty.
Keindahan situ-situ ini banyak yang telah menikmatinya. Tidak hanya menikmati keindahan pemandangan alamnya seperti diatas itu, tetapi juga fungsi pengaturan air untuk irigasi dijaman dulu. Namun fungsi irigasi ini sudah beralih. Saat ini tidak ada lagi tempat buat si Gintung membuang “hajat”.
Salah satu penyebab runtuhnya dinding urugan di sebelah utara ini sangat mungkin karena “penuhnya” air Si Gintung. Biasanya Si Gintung akan dikeeluarkan hajat airnya secara berkala untuk pengairan. Tentusaja pengairan sawah yg konon dulu ada di bawah si Gintung. Namun karena air ini justru ditahan supaya airnya dinikmati keindahannya, si Gintung tidak tahan menahannya.
Kalau saja si Gintung diberi keleluasaan mengeluarkan “hajat”nya, mungkin dia tidak akan marah.
Tahukah kamu bahwa energi yang dikeluarkan oleh si Gintung kemarin itu setara dengan 90 Ton TNT ?
Ketika si Gintung mengamuk, sejumlah energi setara dengan 90 Ton TNT telah dikeluarkannya dalam waktu singkat. Energi sebesar inilah yang merusak rumah-rumah, mengangkat mobil serta meluluh-lantakkan daerah hingga sejauh 2 Km lebih. Kecepatan air ketika lepas dari jebolnya dam bisa mencapai 70 Km/jam.
Dibawah ini salah satu cara untuk menghitung dan memperkirakan energi yang maha dahsyat ini menghancurkan hampir segala sesuatu yang dilewatinya.
Seberapa besar ukuran Si Gintung ?
Luas “danau” Situ Gintung menurut peta dari Google (wikimapia) adalah seluas 0.23 Km2 (2 hektar). Menurut media kedalaman rata-rata waduk ini 10 meter. Artinya di bendung sebelah utara yang jebol ini mungkin kedalamannya akan sekitar 15 meter !. Untuk mempermudah dipakai rata-rata kedalaman 10 meter.
Karena kasus Situ Gintung bukanlah tsunami, maka kita tidak bisa menerapkan persamaan Carayannis untuk energi tsunami (E = (1/6)*rho*g*V*h dengan rho = densitas air, g = percepatan gravitasi, V = volume kolom air yang terusik, h = deformasi vertikal) disini, sehingga hanya persamaan mekanika Newton saja yang diterapkan.
Sebelumnya kita ambil asumsi danau ini punya kedalaman genangan yang homogen, yakni 10 m dari puncak tanggul, sementara ketinggian puncak tanggul dari pemukiman warga dibawahnya dianggap homogen 20 m. Artinya ada selisih ketinggian sebesar 10 m antara dasar danau dengan pemukiman warga. Volume danau adalah 2 juta meter kubik, sementara lebar tanggul yang terkoyak (jebol) adalah 70 meter. Diasumsikan jebolan tanggul itu tepat berbentuk segiempat.
Dengan menerapkan kesetimbangan energi potensial dan energi kinetik massa air danau di permukaan dan di dasar danau lewat persamaan
m*g*h = (1/2)*m*v*v,
Maka kita mendapatkan kecepatan air yang mengalir dari Situ Gintung saat jebol. Pada wal mulanya, kecepatan air mengalir dari Situ Gintung sebesar 19,8 m/detik atau 70 km/jam. Kecepatan ini kemudian kian melambat seiring dengan kian menurunnya kedalaman genangan. Dan pada akhirnya, ketika hampir semua simpanan air Situ Gintung telah terkuras, kecepatannya menurun jauh menjadi tinggal 14 m/detik atau 50 km/jam. Ini merupakan kecepatan yang cukup besar.
Sebagai pembanding, kecepatan rata-rata tsunami ketika sudah memasuki daratan ‘hanya;ah’ 20 – 30 km/jam saja, terkecuali tsunami besar produk gempa megathrust Sumatra-Andaman 26 Desember 2004 silam yang menyerbu kota Banda Aceh pada kecepatan 50 – 60 km/jam. So dengan kecepatan yang besar, maka daya rusaknya (tekanannya) pun juga besar dan sepertinya inilah penyebab kenapa kerusakan demikian parah.
Bagaimana debitnya? Jika dianggap alirannya laminar, maka perilaku air Situ Gintung bisa didekati dengan persamaan kontinuitas. Dengan lebar tanggul 70 m dan tinggi tanggul 10 m dan diasumsikan pada saat-saat awal tinggi “koyakan awal” tanggul adalah 3 m (dihitung dari puncak tanggul), maka luasan permukaannya adalah 210 meter persegi.
Dengan kecepatan awal 19,8 m/detik, maka debit awalnya adalah 4.150 meter kubik/detik. Dan dengan merujuk pada persamaan pembangkitan daya air terjun P = rho*Q*g*h (Q = debit), maka daya yang dihasilkan pada saat-saat awal sebesar 690 megawatt.Kira-kira setara dengan kemampuan PLTU Paiton !
Namun daya ini dengan cepat meluruh nilainya seiring dengan penurunan kedalaman genangan. Hanya, untuk mengetahui berapa nilai persisnya penurunan daya dari waktu ke waktu, kita perlu memodelkannya secara matematis lewat persamaan differensial untuk mengetahui fungsi debit terhadap waktu, fungsi kecepatan aliran terhadap waktu dan pada akhirnya fungsi daya terhadap waktu. Untuk hal itu tentunta perlu perhitungan njlimet.
Bagaimana dengan energi totalnya ? Sebenarnya ini juga bergantung kepada rate daya persatuan waktu dari model matematis tadi. Namun jika kita hendak menyederhanakan perhitungan dan mengambil angka kasar, dengan waktu pengosongan genangan Situ Gintung yang tercatat (menurut saksi mata) sebesar 10 menit saja, maka kita memperoleh energi yang dilepaskan Situ Gintung adalah :
E = 692*10*60 = 415.200 Mega Joule = 415,2 Giga Joule
atau setara dengan 0,09 kiloton TNT.
Artinya, energi perusak maksimum yang dilepaskan oleh Situ Gintung tatkala jebol setara dengan ledakan 90 ton dinamit. Ini estimasi energi maksimum yang mungkin, karena nilai riil-nya pastinya lebih rendah dari angka tersebut.
Seperti telah telah disinggung tadi, angka-angka kecepatan aliran, debit, daya dan energi total didapatkan secara kasar, dengan mengabaikan banyak faktor yang sebenarnya signifikan sepetrti gesekan air dengan dasar tanggul, massa air yang lenyap meresap ke tanah, erosi dasar lembah dan beragam variabel lainnya.
Bagimana dibandingkan kejadian masa lalu?
Sedikit flashback ke masa silam, perkara jebolnya dam/bendungan di Indonesia sebenranya bukan hal yang baru. Pada 1976 misalnya, Waduk Sempor di Gombong, Kebumen (Jawa Tengah), dengan bendungan berupa timbunan tanah, jebol dengan sebab yang sama dengan Situ Gintung.
Pada saat itu bendungan Sempor belum dilengkapi dengan spillway sehingga pengaturan aliran air hanya dilakukan lewat pintu air dengan kunci yang dipegang seorang petugas. Celakanya, suatu hari ketika hujan deras mengguyur Jawa Tengah bagian selatan sehingga volume air waduk Sempor meningkat, pintu air tak bisa dibuka karena petugasnya sedang pergi ke Semarang. Akibatnya bendungan pun jebol, mengguyurkan jutaan meter kubik air ke Sungai Jatinegara hingga menggenangi kawasan Gombong utara dan barat, merenggut nyawa setidaknya 96 orang. Dan kasus yang hampir mirip, dimana sungai terbendung oleh sisa-sia kayu hasil pembalakan hutan besar-besaran sehingga membentuk danau dadakan yang kemudian jebol akibat curah hujan teramat tinggi, terjadi di Probolinggo dan sekitarnya, dengan korban jiwa ratusan.
Ironi dan dagelan yang ngga lutju
Kasus Situ Gintung memang ironi, sebab tubuh bendungan sama sekali tidak dilintasi patahan aktif (baik makro maupun mikro), dan juga tidak terdapat bidang-bidang gelincir yang bisa menyebabkan bendungan ambles, dan juga tidak terhinggapi persoalan differential subsidence sebagaimana yang diderita tanggul-tanggul “danau” Lapindo di Porong Sidoarjo sana.
Dan menjadi lebih ironi lagi ketika keretakan bendungan sudah pernah terjadi berkali-kali sebelumnya, terakhir November 2008 sebagaimana temuan BPPT, namun tak ada tindakan berarti yang dilakukan. Lebih ironis lagi, karena sudah sejak lama sebenarnya juga diramalkan tentang peningkatan curah hujan di Jabotabek dan sekitarnya akibat aktifnya Madden Juliajn Oscillation minggu – minggu ini.Yah, inilah wajah birokrasi negara ini pak, dimana dengan potensi bencana yang sudah ada pun, yang sudah didepan mata, alias dengan probability 100 %, tak ada langkah-langkah cepat yang dilakukan untuk mencegah atau memitigasinya. Ya langkah-langkah cepat itu ada kalo pas saat bancakan duit saja, entah apapun partainya, entah apapun agamanya, entah apapun latar belakangnya.
Tubuh air didekat pemukiman padat.
Dibawah ini memperlihatkan lokasi “danau” Situ Gintung yang terletak ditengah-tengah kepadatan penduduk. Sangat jelas dilihat dibawah ini. Atau bisa juga melihat di WikiMapia.
Sedangkan dibawah ini memperlihatkan lokasi “danau” Situ Gintung dalam peta topografi, peta elevasi (peta ketinggian). Warna hijau muda menunjukkan tempat yang rendah, sedangkan warna kunging ke coklatan memperlihatkan tempat yang lebih tinggi. Tentusaja mudah sekali melihat
bahwa Jakarta memiliki kelandaian ke arah utara.
Peta elevasi diatas memperlihatkan bahwa “danau” Situ Gintung tidak terletak pada lokasi bendungan pada umumnya. Dan bisa dipastikan bukan merupakan bendungan seperti lazimnya sebuah bendungan (DAM). Situ Gintung hanyalah sebuah tubuh air yang terperangkap dalam sebuah cekungan pada punggungan besar diantara lembah-lembah lainnya. Lembah disebelah timur berupa lembah Sungai Pesanggarahan. Sedangkan disebelah barat berupa lembang sungai lain.
Dalam peta geologi Jakarta dibawah ini terlihat bahwa Situ Gintung terletak pada batuan endapan volkanik. Dimana disebelah kiri kanannya berupa endapan sungai. Dengan demikian perlu dilihat bahwa bendung ini mirip bendung Lumpur Sidoarjo yang berupa tanah urugan, atau tanah biasalonsoran kiri kanannya, yang juga terjadi secara alami.
Untuk memperjelas bagaimana lokasi “danau” ini, dibawah ini digabungkan kedua peta diatas. Peta geologi dengan digabungkan peta ketinggian ini jelas sekali memperlihatkan bahwa “danau” Situ Gintung merupakan danau alami yang memiliki konstruksi alamiah. Tubuh air ini hanyalah tubuh air alami yang suatu saat memang akan membahayakan.
Gambar dibawah ini memperlihatkan peta yang lebih detail dari cekungan “danau” Situ Gintung. Coba perhatikan bentuk cekungan situ gintung yang mirip dengan peta yang paling atas. Titik biru itumerupakan titik lemah dari konstruksi bendungan alami Situ Gintung.
Kalau memang pengamatan selintas ini benar, maka sudah jelas bahwa “danau” Situ Gintung memang harus dikeringkan. Tubuh air ini bukanlah sebuah konstruksi bendungan yang umum dibuat oleh ahli-ahli pengairan atau Teknik Sipil. Bendung atau lebih tepatnya tanggul ini hanyalah urugan tanah atau tanah longsoran saja.
Foto di Detik.com disebelah ini memperlihatkan bahwa bendung itu hanyalah tanah urugan yang cukup tinggi.
Pada saat terjadinya banjir tanggul tanah ini kemungkinan tererosi akibat air yang meluap atau luber (overtopping) mirip seperti yang terjadi pada luberan tanggul Lusi (Lumpur Sidoarjo). Karena erosi ini tidak terkontrol dan berjalan sangat cepat, maka air bah yang meyapu ini mampu mengangkat mobil seperti yang terlihat pada foto dari Detik.com di atas.
“KERINGKAN SAJA SELAMANYA”.
Kalau melihat topografi Jakarta selatan ini, sangat mungkin ada daerah-daerah dengan situasi morfologi yang memiliki potensi banjir bandang akibat meluapnya tanggul-tanggul tanah baik yang alami maupun buatan yang tidak menggunakan konstruksi bendungan yang benar.
Melihat lokasi bendungan yang berada disekitar pemukiman padat ini sangat disarankan untuk tidak lagi membendung “danau” Situ Gintung. Konstruksi sisa yang ada merupakan konstruksi alami yang mirip dengan cerita danau tiban yang penah terjadi si Maluku yang pernah ditulis sebelumnya disini : Danau Baru
Danau ini bukanlah sebuah danau pengumpul dari sungai sehingga yang diperlukan adalah membuat drainasi yang optimum untukmengalirkan seandainya ada air limpasan dari hujan. Salah satu kandidat pengaliran akhir adalah sungai Pesanggrahan disebelah timur dari Situ Gintung ini.
Memang di daerah sekitar bendung ini terdapat lokasi wisata yang cukup strategis di tengah hiruk pikuknya Jakarta. Namun lokasi disebelah utara bendung ini jelas akan selalu terancam seandainya ada tubuh air disebelah selatannyanya.
Salah satu alternatif penyeleseiannya adalah dibuat taman kota atau bahkan HUTAN KOTA. Jadi fungsi resapannya masih berjalan, fungsi wisatanya juga masih ada. Dan yang penting tidak memberikan bahaya baru untuk perumahan padat disekitarnya.
Pada akhirnya ekonomi yang akan menjadi pertimbangan. Kalau akan dipaksa dibangun, maka bendungan sebelah utara sepanjang 300 meter harus dibuat dengan kontsruksi sipil yang benar.
from http://rovicky.wordpress.com