Fisikawan Islam mendahului Zaman

Berikut ini bisa jadi telaah kita semua meskipun “mungkin” dongeng seperti ini tidak juga mendongkrak jumlah muslim yang cinta sains…

Kaum muslim meyakini bahwa semua pengetahuan berasal dari Allah, dan Qur’an adalah kalamullah. Maka sebagai sumber pengetahuan, Qur’an pastilah benar. Apakah juga termasuk pengetahuan tentang zat, energi, ruang-waktu dan interaksi benda-benda di alam ini, yang sering disebut dengan “fisika”?

Sebagian muslim dengan mantap mengatakan ya. Maka muncullah istilah “fisika Islam”. Ini adalah sejumlah teori atau lebih tepatnya “hipotesa” dari suatu hukum fisika yang diklaim mereka “temukan” di dalam Qur’an. Sekedar untuk ilustrasi, ada tiga contoh di sini: (1). Teori bahwa bumilah yang pusat tata surya (geosentris), bahkan alam semesta, karena di Qur’an tidak pernah ada ayat yang menyatakan bumi beredar, tetapi matahari, bulan dan bintanglah yang beredar (QS 13:2, 14:33). Teori ini bahkan didukung seorang Syeikh terkemuka dari Saudi Arabia, yang memfatwakan bahwa percaya kepada teori heliosentris bisa menjerumuskan pada kemusyrikan. (2) Teori bahwa besi magnet dapat digunakan sebagai pembangkit energi yang tak ada habisnya, dengan dalil QS 57:25 yang menyatakan bahwa Allah menciptakan besi yang di dalamnya terdapat kekuatan yang hebat, yang ia tafsirkan sebagai energi. (3) Teori tujuh lapis atmosfir, karena dikatakan hujan turun dari langit (35:27) sedang Allah menciptakan tujuh langit (41:12), sehingga hujan itu terjadi pada lapis langit pertama.

Melihat teori dan klaim tersebut, sepertinya mereka mengulang apa yang pernah dilakukan kaum mutakalimin (pecinta filsafat) di masa lalu, yang mencari-cari suatu kesimpulan hanya berdasarkan asumsi, sekalipun asumsi itu berasal dari suatu ayat Qur’an yang ditafsirkan secara subjektif. Tentu saja, cara berpikir mutakalimin seperti ini tidak pernah menghasilkan terobosan ilmiah yang hakiki, apalagi dapat dipakai untuk keperluan praktis.

Para fisikawan muslim di masa keemasan Islam adalah orang-orang yang dididik dari awal dengan aqidah Islam. Rata-rata mereka hafal Qur’an sebelum berusia baligh. Dan mereka sangat memahami bahwa alam memiliki hukum-hukumnya yang objektif, yang dapat terungkap sendiri pada mereka yang sabar melakukan pengamatan dan penelitian dengan cermat.

Ibn al Haytsam (al-Hazen) adalah pioner optika modern ketika menerbitkan bukunya pada tahun 1021. Dia menemukan bahwa proses melihat adalah jatuhnya cahaya ke mata, bukan karena sorot mata sebagaimana diyakini orang sejak zaman Aristoteles. Dalam kitabnya al-Haytsam menunjukkan berbagai cara untuk membuat teropong dan juga kamera sederhana (camera obscura).

Menarik untuk mengetahui bahwa al-Haytsam melakukan eksperimen optiknya ini pada saat ia mengalami tahanan rumah, setelah ia gagal memenuhi tugas Amir Mesir untuk mewujudkan proyek bendungan sungai Nil. Dia baru dilepas setelah penemuan-penemuan optiknya dinilai impas untuk investasi yang telah dikeluarkan sang Amir.

Ibn al-Haytsam juga memulai suatu tradisi metode ilmiah untuk menguji sebuah hipotesis, 600 tahun mendahului Rene Descartes yang dianggap Bapak Metode Ilmiah Eropa di zaman Rennaisance. Metode ilmiah ibn al-Haytsam dimulai dari pengamatan empiris, perumusan masalah, formulasi hipotesis, uji hipotesis dengan eksperimen, analisis hasil eksperimen, interpretasi data dan formulasi kesimpulan, dan diakhiri dengan publikasi. Publikasi ini kemudian dinilai oleh peer-review yang memungkinkan setiap orang melacak dan bila perlu mengulangi apa yang dikerjakan seorang peneliti. Proses peer review telah menjadi tradisi dalam dunia medis sejak Ishaq bin Ali al Rahwi (854-931).

Ibnu Sina alias Avicenna (980-1037) setuju bahwa kecepatan cahaya pasti terbatas. Abu Rayhan al-Biruni (973-1048) juga menemukan bahwa cahaya jauh lebih cepat dari suara. Qutubuddin al-Syirazi (1236-1311) dan Kamaluddin al-Fārisī (1260-1320) memberi penjelasan pertama yang benar pada fenomena pelangi.

Di dunia mekanika, Ja’far Muhammad ibn Mūsā ibn Syākir (800-873) dari Banū Mūsā berhipotesis bahwa benda-benda langit dan “lapisan langit” adalah subjek yang mengalami hukum-hukum fisika yang sama dengan bumi.

Al-Biruni dan belakangan al-Khazini mengembangkan metode eksperimental dalam statika dan dinamika, kemudian juga hidrostatika dan hidrodinamika, yang sangat penting dalam pembuatan jembatan, bendungan ataupun kapal.

Pada tahun 1121, al-Khazini dalam “Kitab tentang Keseimbangan Kebijaksanaan” mengusulkan bahwa gravitasi dan energi potensialnya berubah tergantung jaraknya dari pusat bumi. Dia juga secara tegas membedakan antara gaya, massa dan berat. Penemuan ini berguna untuk membuat kincir bertenaga air.

Ibnu Bajah (Avempace) yang wafat 1138 berargumentasi bahwa selalu ada reaksi pada setiap aksi. Teorinya ini sangat berpengaruh pada fisikawan setelahnya, termasuk Galileo dan Newton, dan sangat berguna untuk menghitung kekuatan manjaniq, yakni ketapel raksasa yang berfungsi seperti meriam.

Hibatullah Abu’l-Barakat al-Baghdadi (1080-1165) membantah Aristoteles yang mengatakan bahwa gaya yang konstan akan menghasilkan gerak yang seragam, ketika dalam kitabnya al-Mu’tabar dia menulis bahwa gaya konstan akan menghasilkan percepatan (akselerasi). Menurutnya akselerasi adalah rerata dari perubahan kecepatan.

Ibnu Rusyd alias Averroes (1126-1198) adalah mujtahid dalam fiqih yang juga fisikawan, terbukti dalam salah satu kitabnya dia mendefinisikan gaya sebagai tingkat kerja yang harus dilakukan untuk mengubah kondisi kinetik dari sebuah benda yang lembam. Apa yang ditulis Ibnu Rusyd ini 500 tahun lebih awal dari mekanika klasik Newton.

Semua ilustrasi ini menunjukkan bahwa Fisika Islam – kalaupun ada – adalah fisika yang telah melalui rangkaian metode ilmiah, yang kemudian terbukti dapat digunakan untuk keperluan praktis. Fisika sebagai ilmu pengetahuan empiris dapat diraih oleh peneliti manapun yang sabar, tanpa memandang apa keyakinan aqidahnya. Kebenaran fakta fisika tidak perlu didukung dan tidak akan mengusik ayat Qur’an manapun, karena keduanya memiliki ruang lingkup yang berbeda. Memaksa-maksa agar suatu fakta fisika cocok dengan sebuah ayat atau sebaliknya, justru menunjukkan kelemahan pemahaman kita sendiri, baik terhadap si fakta fisika itu, maupun terhadap isi Qur’an sendiri. Dan ini semua tidak pernah dialami oleh para fisikawan di masa keemasan Islam.

from Dr. Fahmi Amhar at http://famhar.multiply.com/